Joshua lalu menyebutkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh sebuah desain alat duduk agar menjadi desain yang nyaman. Dimulai dari pematangan ide, sketsa, memindahkan gambar ke autocad, membuat maket, mock-up,dilanjutkan dengan pembuatan prototipe, dan contoh produksi. Jika contoh produk ini sudah lulus uji kenyamanan, fungsi, dan lain-lain, sebuah desain baru bisa diproduksi secara massal.
Seringkali, pengrajin mebel industri rumahan melompati fase prototipe. Fase tersebut memang merupakan fase yang paling memakan banyak waktu dan biaya. Mereka akan segera berlanjut ke proses produksi massal. Padahal, sebuah desain belum pasti nyaman dan ergonomis, bahkan ketika ia sudah menaati ukuran-ukuran persentil dalam ilmu antropometri (antropos = manusia, metri = ukuran). Ini adalah ilmu yang mempelajari tentang ukuran atau dimensi tubuh manusia.
Langkah-langkah perancangan yang dikatakan Joshua jelas harus dipatuhi. Namun, sebelum itu, ada hal lebih mendasar yang semestinya dijadikan “pegangan kuat” kala merancang alat duduk.
Jangan lupakan aspek “ergonomi” (ergo = kerja, nomos = peraturan dan hukum kerja). Ergonomi mengintegrasikan ilmu biologi tentang manusia dengan ilmu teknik dan teknologi. Konsep ergonomi tercapai ketika suatu desain dapat berfungsi efisien di “tangan” manusia.
Prinsip-prinsip ergonomi ini sudah ditetapkan secara internasional. Standar ergonomi dalam desain tempat duduk sama mutlaknya dengan standar-standar ergonomi di bidang lain, seperti arsitektur, interior, dan lain-lain. Artinya, ia harus dijadikan dasar dalam perancangan untuk mencapai fungsinya yang maksimal. Kenyamanan, salah satunya. Misalnya, sudut kemiringan kursi. Ukuran standar kemiringan kursi menurut ilmu ergonomi adalah 95-107°. Jika kurang dari itu, kursi tidak akan nyaman diduduki.
Jika hendak menciptakan sebuah desain yang ergonomis, salah satu bidang penyelidikan yang harus diperhatikan adalah antropometri.
Khusus untuk desain alat duduk, antropometri memungkinkan para desainer menciptakan alat duduk yang menunjang kenyamanan, kemudahan, dan keamanan melalui ukuran-ukuran baku yang bisa diikuti. Tapi ternyata, tidak semua orang bisa menikmati kenyamanan yang sama. Tetap saja ada yang harus mengalah.
Pertanyaan pertama yang muncul adalah, bagaimana mungkin ukuran-ukuran dalam antropometri tersebut cocok dan menciptakan kenyamanan untuk banyak orang? Sementara kita tahu, setiap manusia adalah unik, serta berbeda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Beda usia, beda ukuran tubuh. Beda jenis kelamin, juga bisa berbeda dimensi tubuhnya.
Dalam antropometri, ada dua jenis dimensi tubuh manusia untuk perancangan produk; struktural dan fungsional. Dimensi tubuh struktural yaitu pengukuran tubuh manusia dalam keadaan tidak bergerak, sedangkan dimensi tubuh fungsional adalah pengukuran tubuh manusia dalam keadaan bergerak.
Untuk mendesain sebuah alat duduk yang nyaman, pengukuran berfokus pada dimensi tubuh struktural. Antropometri struktural ini di antaranya mengukur tinggi selangkang, tinggi siku, tinggi mata, rentang bahu, tinggi pertengahan pundak pada posisi duduk, jarak pantat-ibu jari kaki, dan tinggi mata pada posisi duduk.
Antropometri mempermudah para desainer untuk menciptakan desain yang nyaman. Telah ada kesepakatan mengenai pedoman perancangan untuk sebuah alat duduk yang nyaman. Pedoman perancangan alat duduk tersebut, meliputi tinggi duduk, lebar duduk, kedalaman tempat duduk, tinggi sandaran punggung, tinggi sandaran lengan, dan jarak antar sandaran lengan (Human Dimension & Interior Space, 1979).
Dalam ilmu antropometri, dikenal angka persentil ke-95 dan persentil ke-5. Inilah yang memungkinkan sebuah desain bisa diterima masyarakat pada umumnya. Persentil ke-95 menggambarkan ukuran manusia yang “terbesar” dan persentil ke-5 sebaliknya menunjukkan ukuran “terkecil”. Artinya, 95% populasi berada pada atau di bawah ukuran yang ditentukan.
Joshua Simanjuntak mengamini pendapat Julius Panero dalam Human Dimension & Interior Space.“Persentil ke-95 meng-cover 95% populasi. Maka, kita harus mengalahkan yang 95% untuk yang 5%.”
Angka persentil, baik itu 95% ataupun 5%, berpotensi mengalami perubahan. Misalnya, jika 10 tahun yang lalu, persentil 95% untuk tinggi orang Jepang adalah 160 cm, kini baik laki-laki atau perempuan di Jepang sudah 170 cm. Tren-tren ukuran persentil memang lama berubah; bisa memakan satu atau dua generasi. Lain cerita dengan tren desain alat duduk itu sendiri.
Tren sendiri selalu berubah, termasuk tren alat duduk. Menurut Abie Abdillah, desainer produk lulusan ITB, sejak dulu tren alat duduk di Indonesia lebih banyak meniru American classic. Namun, seiring munculnya desainer-desainer muda lokal, tren yang berkembang adalah desain bergaya pop-kontemporer. “Karakternya lebih eksploratif, ekspresif, lebih berkesan unik,” ungkap Abie.
Perubahan tren dari American classic menuju pop kontemporer disebabkan oleh semakin terbukanya akses terhadap pengetahuan dan informasi. Selama belajar di kampus atau bekerja di pabrik, para desainer muda ini melihat ketertarikan dari para pembeli luar negeri.
Di samping itu, rupanya tren juga berpengaruh pada kebutuhan, yang erat kaitannya dengan kondisi ekonomi. Daya beli tertentu cenderung memilih kursi dengan desain tertentu. “Nah, dalam hal ini model American classic masih mendominasi sebenarnya. Untuk kalangan menengah ke atas usia di atas 40, ketertarikan terhadap model klasik dan tradisional masih luar biasa besar. Bagi mereka, ini menunjukkan prestise,” masih menurut Abie.
Namun seperti yang tadi sudah disinggung, terjadi pergeseran tren di ranah desain alat duduk. Tidak hanya pergeseran dari American classic menuju pop kontemporer, tapi ada yang lebih khusus. Desainer-desainer Indonesia, terutama dari kalangan muda, kini mulai tertarik pada desain Eropa kontemporer yang sederhana. Desain-desain yang belakangan muncul sangat kental unsur Skandinavia.
Otomatis, terjadi pula pergeseran gaya dan makna “kemegahan”. Jika dulu kita melihat kemegahan dari ukiran-ukiran yang dominan, rumit, dan berwarna megah. Kini, kemegahan bisa muncul dari desain-desain sederhana yang menggunakan material-material berkelas. “Hanya saja, pasar untuk desain yang sederhana, minimalis, dan clear look, ada segmennya sendiri,” lanjut Abie.
Namun, biar bagaimanapun, orang-orang Indonesia masih mengutamakan fungsi dan kenyamanan dalam memilih sebuah desain alat duduk. Bukan pada tren, atau pada harga.
“Mau sekeren apa pun kalau enggak enak diduduki, ya, malas. Mahal? Oke. Mahal tapi enggak enak, untuk apa?” tegas Joshua.
Comments
Post a Comment